Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
hingga akhir zaman.
Malam hari ini, bertepatan dengan pergantian tahun akan terjadi
gerhana bulan parsial -yang dapat disaksikan dari seluruh daerah di
Indonesia-. Begitu pula 14 hari kemudian akan terjadi gerhana matahari
-namun hanya dapat disaksikan dari sebagian daerah.- Berikut info
selengkapnya.
Info Gerhana Januari 2010
Berdasarkan perkiraan, akan terjadi gerhana sebanyak dua kali di awal
tahun ini yaitu gerhana bulan pada 1 Januari 2010 dan gerhana matahari
pada 15 Januari 2010.
Untuk gerhana bulan yang pertama dapat dinikmati oleh seluruh daerah di Indonesia pada 1 Januari 2010 dinihari.
"Di
seluruh wilayah Indonesia bisa mengamatinya," ujar peneliti utama
astronomi dan astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN), Thomas Djamaludin, ketika dihubungi detikcom, Senin
(28/12/2009).
Thomas menjelaskan, gerhana Bulan yang terjadi sekitar
satu jam tersebut bisa dinikmati sepanjang di wilayah tersebut masih
memasuki waktu malam.
"Mulai pukul 01.53 WIB hingga 02.53 WIB di seluruh wilayah yang waktu itu malam hari bisa mengamati," terang Thomas.
Menurut Thomas, gerhana Bulan tersebut tidak terlalu besar. Bulatan Bulan yang tertutup bayangan Bumi hanya sekitar 7 persen.
Untuk
gerhana yang kedua yaitu gerhana matahari terjadi pada 15 Januari 2010.
Gerhana tersebut adalah gerhana cincin (annular), namun di Indonesia
yang tampak adalah gerhana sebagian (parsial). Akibatnya hanya kawasan
tertentu di Indonesia saja yang bisa menyaksikannya.
"Gerhana cincin
itu hanya melintas di Afrika bagian selatan, India, Thailand dan China.
Di Indonesia, di Sumatera, Kalimantan, Jawa bagian barat dan tengah
serta Sulawesi bagian utara," ujarnya.
Gerhana Matahari ini terlihat
pada sore hari. "Di Indonesia tergantung wilayahnya, baru ada sekitar
pukul 3 - 4 sore. Di Indonesia Tengah sekitar pukul 4 hingga 5 sore,"
terang Thomas.
Penampakan gerhana Matahari di masing-masing wilayah
Indonesia juga berbeda-beda. Di Jawa penampakan hanya mencapai sekitar
10 persen, di Kalimantan sekitar 5-20 persen, di Sulawesi hanya 0-7
persen.
"Sumatera mencapai 10-60 persen, yang paling baik di Aceh sekitar 60 persen," tutupnya. 1
Bagi yang Menyaksikan Gerhana Hendaklah Melaksanakan Shalat Gerhana
Jika seseorang menyaksikan gerhana, hendaklah ia melaksanakan shalat
gerhana sebagaimana tata cara yang nanti akan kami utarakan, insya
Allah.
Lalu apa hukum shalat gerhana? Pendapat yang terkuat, bagi
siapa saja yang melihat gerhana dengan mata telanjang, maka ia wajib
melaksanakan shalat gerhana.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”
Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan shalat.”
2
Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana
mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut,
shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah
ushul fiqih,
hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani
rahimahumullah.
Catatan: Jika di suatu daerah tidak nampak gerhana,
maka tidak ada keharusan melaksanakan shalat gerhana. Karena shalat
gerhana ini diharuskan bagi siapa saja yang melihatnya sebagaimana
disebutkan dalam hadits di atas.
Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ
لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا
اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”
Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda
kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian
atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada
Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).”
3
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat.
Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah
waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh
dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”
Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.”
4
Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana
termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut
tetap dilaksanakan.
Hal-hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana
Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ
لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا
اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian
seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka
berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.”
5 Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits
dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari
kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid),
lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat.
6 Dalam
riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di
situ.
7 Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai
dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan
shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat
tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah
melihat berakhirnya gerhana.”
8 Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana
secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga
boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah”.
9
Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak
mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh
karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan
untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian.
Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara
berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika
shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para
sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya
jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga
adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.”
10 Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria
Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,
أَتَيْتُ
عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم -
حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا
هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا
إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ
فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha
-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana
matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut
berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: “Kenapa orang-orang
ini?” Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata,
“Subhanallah (Maha Suci Allah)”. Saya bertanya: “Tanda (gerhana)?”
Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.”11
Bukhari membawakan hadits ini pada bab:
صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ
”Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,
أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى
”Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk
orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum
pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.”12
Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta
melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika
ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum
pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah.13
Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan ’ash sholatu jaami’ah’ dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ
الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ
مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ
فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa
pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana
matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan:
‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah).
Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau
melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.”14
Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan
iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.
Kelima: berkhutbah setelah shalat gerhana
Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat15. Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ
عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول
الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه
وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ
قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ
فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ
السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ
الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ
الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:
"
إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ
أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا
وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا".
ثم قال: "
يَا أمةَ مُحمَّد " : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ
من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو
تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً ".
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana
matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan
mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau
ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan
memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang
sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’
tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau
sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau
mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai
mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda,
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda
kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang
atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah
kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda,
”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih
cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun
perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian
mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan
banyak menangis.”16
Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.17
Tata Cara Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at
dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih
mengenai tata caranya.
Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana
dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap
raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat
bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada
dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang
lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama.18
Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus
seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat
berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan
bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam
dua raka’at.”19
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari
pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami
manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan
memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang
berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya.
Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun
lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan
memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau
mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai
mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.”20
Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya sebagai berikut.
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat
termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu
’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak
pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para
sahabatnya.
[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz,
kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang
(seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan
lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud,
namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang
panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu
mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan
dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
[11] Tasyahud.
[12] Salam.
[13] Setelah itu imam menyampaikan khutbah
kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a,
beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. 21
Nasehat Terakhir
Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini.
Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan
terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang
sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan
membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan
tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa
tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau
tanda semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi
kita shallallahu ’alaihi wa sallam:
عَنْ
أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى
الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا
رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ
الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ
لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ
فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ
وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu
menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir
akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid
kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang
lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya
ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana
tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan
tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika
kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk
berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.”22
An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai
maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi
hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di
antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum
tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya
Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. 23
Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan
tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut
ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu
’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa
kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja,
mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia,
bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.
Demikian penjelasan ringkas kami mengenai shalat gerhana . Semoga bermanfaat syukronn!!
[ ADHI SETIA PUTRA ASP ]